Sabtu, 15 Oktober 2016

Kuliner Bandung ft Kuliner Karawang

"KULINER BANDUNG ft KULINER KARAWANG"

“RENUNGAN SINGKAT”


Coba buka pintu kamarmu, keluarlah dimalam hari, dan alihkan pandanganmu kelangit diatas sana. Bisikan apa yang keluar dari mulutmu? Kalau aku, “Ahh... Karawang...” sembari menarik nafas panjang dan melepaskannya dalam satu hembusan, “HAH!”. Seteguk teh dalam botol menyadarkanku untuk kembali pada kenyataan bahwa besok masih hari Minggu.


Minggu? Ada yang aneh pada kalimat diatas. “MASIH HARI MINGGU”. Aku yakin semua orang menantikan hari minggu, setidaknya untuk seorang karyawan sepertiku yang menghabiskan senin sampai jum’at ku di ruang kantor sebuah pabrik di Karawang sini. Tapi dalam kalimat aneh itu seolah aku ingin melewatkan mingguku dan ingin segera menemui senin untuk segera kembali berhadapan dengan layar komputer kantor.


Bukan, maaf--belum, ini belum bisa disebut loyalitas, karena faktanya aku ingin segera kembali kekantor bukan karna kecintaan berlebihku pada pekerjaan, ini lebih karena tidak ada yang ingin aku lakukan dihari minggu yang seperti ini di karawang sini. Bukan aku membenci karawang, tidak—sama sekali tidak. Hanya saja bagaimanapun kampung halaman selalu lebih menyenangkan. Benar?

Ada banyak yang tidak Karawang miliki dibanding dengan Bandung dan Cimahiku. Teman nongkrong, teman sharing, teman coffee trip, teman sekedar haha-hihi dan bernyanyi sampai dini hari sekalipun, terlebih di karawang tidak ada rumah dan tidak ada Ibu yang menyuguhkan sarapan pagi dan membangunkan subuhku untuk segera mengunjungi Allahku yang tidak jarang aku lewatkan. Yaa, meski sering kali aku lebih banyak menghabiskan waktuku di warung kopi daripada dirumah, tapi itu bukan tanpa alasan dan bukan tanpa manfaat (pembenaran, skip.).


Kembali tentang suguhan pagi Ibu, bukan hanya itu, suguhan siang-sore-malam-pun adalah salah satu yang membuat Bandung dan Cimahi selalu dirindukan. Bukan hanya suguhan makanan, tapi senyum canda tawa ibu dan adik kecilku, terkadang kami juga melewatkan siang dengan cerita-cerita ringan tentang gossip terbaru keluarga yang selalu terlambat aku ketahui. Cerita lucu tingkah adikku yang Ibu, Abah, Nenek dan keluargaku kisahkan, semua selalu membuatku menggelengkan kepala mendengarnya. Dalam perbincangan kami, sering kali hanya ada aku, ibu dan nenek. Dalam hati aku selalu tersenyum dalam kondisi seperti itu, betapa beruntungnya aku masih bisa dikumpulkan bersama mereka, kami yang datang dari tiga generasi yang berbeda, bisa bercanda dan tertawa karena hal yang sama. Mungkin lebih indah jika saat itu ada empat generasi (eh baper, skip.)

Apalah daya, minggu ini tidak ada mereka. Mungkin minggu depan, aku janji akan selalu mengulangnya setiap kali pulang kerumah, meski hanya beberapa menit, aku sebut itu “Quality Time”, dan ngopi diwarkop adalah “Productive Time”.

"KULINER TIME"
 

Bicara tentang Karawang, selain pabrik disini ada banyak kuliner mengingat bekerja dan makan adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan (ATARI MAE DESUYO! Setidaknya begitu menurutku) . berbeda dengan Bandung yang kulinernya lebih banyak tentang inovasi-inovasi dan resep-resep baru yang unik, di Karawang lebih banyak makanan biasa yang asalnya dari berbagai tempat. Bubur ayam cirebon, sate padang, siomay bandung, coto makasar, kupat tahu padalarang, pempek palembang, soto surabaya, pecel tegal (mulai ngaco!). Banyak! Banyak nama makanan yang di embel-embeli dengan nama daerah dibelakangnya, meski tidak jarang sebenarnya itu hanya akal-akalan marketing agar menarik pelanggan asal daerah-daerah tersebut, meski resep dan rasanya jelas berbeda, bahkan pejualnya-pun bukan asli daerah-daerah tersebut. Anehnya, semua masakan itu laris terjual! Yaa, perkara perut, apapun itu asal perut terisi, hmmm. 


Misalnya, bubur ayam cirebon yang kumakan hampir setiap pagi, entah itu asli atau tidak karna aku sendiri belum pernah makan bubur ayam di cirebon, belum pernah makan kupat tahu dipadalarang, dan rasanya di padalarang sendiri tidak ada penjual kupat tahu yang bertuliskan “Kupat Tahu Padalarang”, di bandung-pun jarang kulihat siomay dengan tulisan “Siomay Bandung”. Ah ntahlah.

Namun demikian, tidak sedikit juga masakan yang memang asli daerahnya, resep, rasa, bentuk dan penjualnya. Misalnya masakan jepang yang sudah diulas sebelumnya. Hey! Karawang tidak melulu tentang masakan jepang. Bagaimanapun disini ada jauh lebih banyak warga lokal dengan kondisi ekonomi kelas menengah kebawah. Untuk itulah kubuat ulasan ini untuk berbagi informasi dengan kalian semua.


Satu tahun belakangan ini saya tinggal di daerah alun-alun karawang, dekat mesjid agung karawang ada banyak sekali penjual yang menjajakan makanan, mulai dari cemilan sampai masakan berat. Sup, soto, baso, yamin, sate, nasi goreng, ayam&bebek goreng, dan aahhh banyaak sekali!! Ada beberapa yang saya favoritkan di alun-alun, sepertinya yang ini asli dari daerahnya.




“BASO TAHU IKAN – SIOMAY BANDUNG PAD LOMA”


Kalian tau telkom karawang? Bangunan merah didaerah alun-alun karawang sini. Seberang mesjid alun-alun karawang ada  taman kecil yang disekitarya dikelilingi tenda-tenda putih pejual makanan. Tidak jauh dari sebrang telkom situ, kalian bisa berjalan kearah pertigaan dan berbelok ke kiri, dari pertigaan itu ada pos polisi kecil, tepat disebrang pos polisi (masih di area tenda putih) ada gerobak dengan tulisan “Baso Tahu Siomay Bandung”. 


Baso Tahu Siomay Bandung, Rp.7.000/porsi
Awalnya saya bosan dengan baso tahu di karawang, hampir semua gerobak menuliskan “Siomay Bandung”, bentuknya kecil-kecil dan bumbu kacangnya jauh berbeda dengan yang dijual di bandung, kebanyakan bumbu kacang yang mereka punya berwarna coklat pucat, macam bumbu lotek kalau dibandung, dan sambal yang mereka pakai adalah saus rasa murah yang rasanya aneh (redaksinya aneh, seharusnya ‘saus rasa aneh yang harganya murah’, abaikan.). 


Gerobak Baso Tahu Ikan, Alun-alun Karawang
Biasanya sepulang kerja aku langsung pulang tanpa membeli makan malam. Tapi malam itu karena terlalu lapar aku meminta supir jemputan untuk menurunkanku dialun-alun, biarlah aku sedikit berjalan kaki pulang kerumah. Tak sengaja aku melihat gerobak “Baso Tahu Ikan Siomay Pad Loma”. Melihat tulisan “BASO TAHU” aku penasaran, karena biasanya mereka menuliskan “SIOMAY BANDUNG”saja, dibandung cemilan kukus itu disebut ”Baso Tahu” bukan “Siomay”, biasanya siomay itu semacam pangsit kering yang disajikan dengan kuah hangat. Jadi kupikir itu pasti baso tahu yang seperti dijual dibandung sana. Dan ternyata, benar! Ukuran siomay (pangsit kukus), tahu, kol, kentang, pare dan telur itu berukuran besar dengan bumbu kacang berwarna coklat tua agak berminyak dengan bercak merah cabai yang turut serta dihancurkan bersama kacang, bumbu kacang yang dihancurkan sampai halus dengan kekentalan yang pas. EUREKA!!! Akhirnya ada juga baso tahu yang benar-benar baso tahu di karawang! Harganya hanya Rp.7.000 /porsi, pakai telur rebus Rp.10.000/porsi. Usut punya usut, rupanya Si Empunya gerobak memang asli orang bandung, di karawang beliau memiliki beberapa gerobak serupa dengan resep yang sama tentunya. Di alun-alun sini biasanya buka dari sore sampai malam. Salah satunya lagi ada di depan pasar tuparev yang beroprasi siang hari dan di depan RS.Bayukarta (RS.Bayukarta atau RS.Dewi Sri lupa, hehe).




“SATE PADANG UNAS PASAR MINGGU”


Dari banyak macam sate, rasanya aku selelalu lebih menginginkan sate padang dibanding sate apapun, kenapa? Karena kebanyakan sate ayam yang dijual saat ini lebih banyak menggunakan gaji ayamnya dibandingkan dengan dagingnya sendiri, terlebih bumbu kacang yang sering kali rasanya biasa saja.


Pertama kali mencoba sate padang saat aku mulai melanjutkan study pasca sarjana ku di Universitas Nasional Jakarta, tepatnya di Jl.Sawo Manila Pasang Minggu, Jakarta Selatan. Biasanya perkuliahan mulai pukul 17.00 sampai dengan pukul 21.00, sekitar pukul 18.30 waktunya kami istrahat shalat maghrib dan makan malam kalau sempat. Didepan kampus  UNAS Pasar Minggu, selepas maghrib biasanya selain warteg, ada penjual nasi goreng, bubur ayam, dan sate padang. Jarang memang kami makan malam pada jam istirahat, karena waktu istirahat singkat dan hanya cukup untuk shalat maghrib, jadi kami memilih untuk shalat di mushala di lantai 4. Selepas perkuliahan pukul 21.00 biasanya hanya tinggal penjual nasi goreng dan bubur ayam yang tersisa. Sebelumnya tak tepikirkan untuk makan sate padang karena memang selalu penuh dan antri, terlebih pukul sembilan malam biasanya Si gerobak sate padang sudah raib dari pangkalannya.


Malam itu perkuliahan selesai lebih cepat, masih banyak waktu untuk kami makan malam sambil berbincang ringan. Seorang teman memilih untuk makan sate padang karena kebetulan sedang sepi karena sekitar pukul tujuh malam biasanya mahasiswa sudah kembali kekelas dan berakhirlah kami dipangkalan sate padang. Hmm, wanginya menarik, seperti bumbu kari tapi berbeda, wanginya khas, penjualnya-pun asli orang Padang. Berbekal rasa penasaran dan bosan dengan bubur ayam (kali ini tanpa embel-embel nama daerah), akhirnya saya juga ikut memesan sate padang seharga Rp.15.000 /porsi lengkap dengan lontongnya. Biasanya mendengan nama daerah Padang pada makan saya tidak begitu tertarik karena yang saya tau masakan padang kaya dengan rempah yang kuat dan kuah rempah yang sangat berminyak, dan sayang sekali saya kurang suka masakan berminyak lebih. Setelah dicoba, ternyata rasanya lumayan juga, kekentalan bumbunya kurasa cukup, ada rasa pedas yang cukup, tidak tawar juga tidak terlalu pedas yang pasti tidak berminyak, warnanya kuning kemerahan. Disitu baru aku tau kalau sate padang tidak punya sambal meski padang dikenal dengan rempah, minyak dan rasa pedasnya. Sate padang pertama UNAS-lah yang menjadi indikator untuk sate padang-sate padang berikutnya.



“SATE PADANG LAPANGAN RAJAWALI, CIMAHI”


Sate Padang, Cimahi. Rp.18.000
Gerobak Sate Padang Urang Awak, Cimahi
Berikutnya kurasa ingin sate padang lagi ketika pulang ke cimahi sebelum kembali ke kota industri, saya merajuk di media sosial menanyakan dimana keberadaan sate padang di cimahi? Ada yang membalas di bawah jembatan dekat Alun-alun Cimahi, ada pula yang mengatakan disebrang Hotel Tjimahi, juga ada yang menginformasikan di dekat Lapangan Rajawali. Berhubung arah pulangku ke daerah Pasteur, aku hanya bisa mencari di Alun-alun dan sebang Hotel Tjimahi, itupun harus melalui jalan yang sedikit memutar dari rumahku di daerah Cipageran. Pasrahlah aku sore itu, pupus pula harapanku pada Si Sate Padang idaman. Esok harinya aku memang sudah menjadwalkan perjalanan dinasku ke Bandung untuk mengirimkan Laporan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL) ke beberapa instansi pemerintahan di Bandung. Selesai dengan laporan-laporan tersebut aku harus ke daerah Cimahi untuk memesan beberapa cutting sticker untuk kebutuhan kantor karena rupanya pembuatan cutting sticker  dikarawang sangat mahal. Dari daerah Pasar Atas Cimahi, kami kembali ke karawang menggunakan Tol Baros. Kupikir hasratku pada sate padang kemarin sudah musnah rupanya keinginan itu masih kuat, teringat komentar di Path dari seorang teman, kabarnya ada penjual sate padang yang stay di dekat Lapangan Rajawali, tidak beripindah-pindah tempat seperti penjual dengan gerobak lainnya. Kebetulan menuju Tol Baros harus melalui Lapang Rajawali, kuminta pada supir untuk melaju pelan disekitar Lapang Rajawali situ, rupanya benar! Lagi-lagi EUREKA!!! Lajur kiri sebelum Lapang Rajawali, ada sebuah gerobak bertuliskan “SEDIA SATE PADANG URANG AWAK”. Setelah berbincang dengan penuh kegirangan dengan Uda penjual sate, akhirnya kupesan dua porsi sate padang lengkap dengan lontong seharga Rp.18.000 /porsi itu. Kali ini rasanya sedikit berbeda, kalau sate padang di UNAS berwarna kuning kemerahan, di cimahi berwarna kuning kecoklatan, rasa rempahnya lebih kuat, potongan dagingnya lebih besar dan ada sedikit parutan kelapa dalam balutan bumbu satenya. Kupikir mungkin ini ‘lebih padang’ (ntahlah, belum pernah juga kucoba sate padang asli dari padang). Meski agak berbeda dengan sate padang UNAS, rasa sedikit pedasnya masih bisa ditolelir dilidahku. Terlebih makan siangku di Nany’s Pavilon siangnya hanya “Spaghety Hot Tuna” yang kurasa itu macam cemilan diperut gembilku (tunanya sungguh hot rasanya, sangat pedas, dan terlalu pedas bagi lidahku). Lain kali ketika aku benar-benar sedang ingin sate padang di Cimahi, mungkin aku akan kembali lagi kesana.



“SATE PADANG KHAS PARIAMAN, ALUN-ALUN KARAWANG”


Sate Padang Alun-alun Karawang, Rp.15.000
Tak ada angin, tak ada hujan, tetiba malam itu sepulang kerja aku seperti menggila ingin maka sate padang. Kutanya ibu-ibu yang lain, infomasinya disekitar Mesjid Peruri ada yang menjual sate padang, akhirnya kuminta supir jemputan untuk mengantar temanku melewati penjual sate itu, perlahan kami menyusuri jalan mencari gerobak sate padang, tidak jauh dari mesjid, dijalur kiri rupanya benar-benar ada gerobak bertuliskan “Sate Padang”, sialnya mereka tidak berjualan, apalah artinya ada gerobak tanpa satenya. Dengan lemah aku masih bisa sedikit berteriak menyesali tutupnya sate padang tersebut, Pak Supir hanya bisa tertawa melihat tingkahku yang melebihi ibu hamil yang sedang ngidam. Tak menyerah sampai disitu, sepanjang jalan kuminta Pak Supir tetap berjalan pelan sembari kami melihat-lihat barangkali masih ada kesempatan untuk memenuhi hasratku pada si sate padang pujaan lidah. Entah iba atau apalah, Pak Supir terbersit pada ingatannya bahwa pernah ada penjual sate padang dekat SDN Karawang Kulon, kebetulan masih di daerah Alun-alun Karawang, akhirnya kami rasa itulah harapan terakhir kami setelah melewati daerah Galuh Mas sampai Mall Karawang Central Plaza (KCP) belum jua kami menemukannya. Tiba diarea Tenda Putih (begitu aku menyebut jajaran tenda putih yang mengelilingi taman di depan mesjid agung karawang), kami melewati Kantor Pos, biasanya dari Kantor Pos kami langsung berbelok ke kiri menuju rumahku, tapi karena kali itu tujuan kami adalah sate padang dekat SDN Karawang Kulon, maka kami terus lurus melewati tenda-tenda putih yang berjajar, dengan mata elangku kususuri setiap tulisan pada gerobak-gerobak yang berjajar itu, biasanya tidak pernah kuperhatikan mereka karena memang makan malam bukan hal rutin yang kulakukan. Pucuk dicinta ulam-pun tiba, lagi-lagi-lagi EUREKA!!! Kutemukan gerobak bertuliskan “SATE PADANG KHAS PARIAMAN”. Oh bahagiaaa..... belum tiba ditujuan, sudah kutemukan apa yang diidam-idamkan. Seperti itulah rejeki, kalau tidak dicari tidak mungkin menghampiri begitu saja. 3 tahun bekerja di karawang, baru kali ini menemukan sate padang apalagi letaknya tidak jauh dari tempat tinggalku.


Kalau di UNAS bumbunya kuning kemerahan, di Cimahi kuning kecoklatan, di Karawang rupanya kuning keemasan. Potonga satenya tidak jauh berbeda dengan sate padang UNAS, lebih kecil dari sate padang di Cimahi, kekentalan bumbunya cukup, pedasnya juga pas, sesuai ekspektasi, yes! Bedanya bumbu kali ini dibubuhi kacang tanah (kalau dibandung dikenal dengan sebutan “su-uk” ). Agak aneh memang dilidah, tapi kalau “su-uk” nya tidak kumakan, tidak ada masalah, rasanya eemmhhhh nikmat! Kenikmatan itu seharga Rp.15.000 /porsi. Setelah wara-wiri mencari, akhirnya kupesan 3 porsi sekaligus, 1 porsi untuk Pak Supir yang turut serta berkontibusi dan sabar menemaniku, 2 porsi untukku yang gembil ini. Tidak! Keduanya tentu tidak untuk kumakan sekaligus malam itu. 1 porsi terakhir sengaja kusimpan untuk sarapan esok paginya. Pukul  6 pagi esoknya, sengaja kuhangatkan sate padang semalam, kukemas baik-baik dan kusimpan rapi disamping tas kerjakku agar tidak tertinggal. Sungguh cerobohnya aku, bergegas aku menuju mobil jemputan yang sudah menunggu, dan diperjalan baru kuingat sate padang idamanku tertinggal dirumah :’( tertawalah Pak Supir melihat kelakuan konyolku. Akhirnya kukirim pesan singkat pada adikku yang saat itu bekerja shift malam dan pulang pagi harinya untuk menghabiskan saja sate padangku. Begitulah, ada pesan moral yang kalian dapat? Teliti!  Ya, jangan ceroboh! Bangunlah lebih pagi dan persiapkan baik-baik kebutuhan kalian sebelum berkegiatan!


For your information, malam ini gantian adikku yang membelikan aku sate padang tadi. Rasanya masih menempel sampai selarut ini, nikmat. (too much, lebay!).




“MIE BASO YAMIN, ALUN-ALUN KARAWANG”


Siapa tak suka baso? Daging giling dicampur tepung dan macam-macam bumbu yang dibentuk biasanya bulat-bulan dan direbus, ada yang menambahkan urat, atau didalamnya diberi daging cincang, telur rebus, bahkan kini banyak inovasinya seperti berisikan keju, sosis, bahkan cabai. Bentuknya juga sudah tidak selalu bulat, ada yang membuatnya menjadi pipih, kotak bahkan bentuk hati. Disajikan dengan mie dan sayuran, ditabah sambal, saus, kecap dan cuka. Uuhhh segar tentunya. Ada mie baso bisa, ada pula mie baso yamin, yamin-pun ada yamin kuah, yamin kering, yamin asin, yamin manis, wow! Tapi sungguh, di karawang sini sangat jarang baso yang benar-benar cocok dilidah saya, entah mungkin lagi-lagi atmosfer karawang yang jauh berbeda dengan bandung atau memang resep dan cara memasak juga cara penyajian yang berbeda.


Mie Baso Yamin Alun-alun Karawang.Rp.15.000+Rp.10.000
Ada dua depot baso besar yang terkenal di karawang, “Baso Sopo Nyono” (baso siapa sangka), tapi tetap rasa baso yaminnya berbeda dengan yang biasa saya makan di bandung, letaknya di daerah Perumnas Karawang dan di Galuh Mas sebelum masuk ke Cluster Primrose. Ada juga baso dengan label “Baso Rudal” di daerah Peruri, lagi-lagi berbeda dengan baso rudal bandung yang ukurannya besar dengan urat yang renyah pula.


Dan lagi dengan tidak sengaja kutemukan baso yamin di area tenda putih di alun-alun sini, letaknya hanya terpisah 2-3 gerobak dari tempat sate padang tadi. Mie Baso Yamin seharga Rp.15.000 /porsi ini memiliki mie dengan tekstur lembut berwarna kuning pucat, ukuran yang kecil, agak keriting tidak sekeriting indomie tidak pula selurus mie pada mie kocok. Mie yamin ini disajikan dengan daging ayam cincang, daun bawang, dan bawang goreng diatasnya (sayangnya aku benar-benar benci bawang-bawangan, jadi tidak kutambahkan mereka pada mie yamin yang kupesan). Kuahnya terpisah, baso kecil-kecil yang adonannya kira-kira 65% daging dan 35% tepung+bumbu ini passss sekali dilidahku. Belum ada yamin seenak ini dikarawang, hanya satu kekurangannya, kurang senyumnya :)


Berhubung kurasa sangat lapar malam itu, dan aku sangat mengidamkan baso besar juga, akhirnya aku berjalan dari penjual yamin tadi kearah mesjid agung, tepat disebrang mesjid agung, kupesan juga baso biasa seharga Rp.10.000 /porsi. Hmm kira-kira 40% daging dan 60% tepung+bumbu, sebenarnya itu pertama kalinya kupesan baso disana, untuk lidahku kurang pas, entah untuk lidah kalian, boleh kalian coba jika kebetulan lewat. Ternyata itu hanya nafsu makanku saja yang berlebih, setelah masuk keperut justru semuanya tidak bisa kuhabiskan karna kekenyangan. Mungkin kalian bisa coba makan mie baso yaminnya saja atau mie basonya saja. 


Ingat, makanlah sebelum lapar dan berhentilah sebelum kenyang!




“KULINER BANDUNG VS KULINER KARAWANG”


Bandung
Karawang
Pagi-Siang
Sore-Malam
Pagi-Siang
Sore-Malam
-
Lotek + Nasi / Lontong
Nasi Pecel + Tempe Mendoan
-
-
Sate Ayam
Sate Ayam
Sate Ayam
Kupat Tahu
-
-
Ketoprak
Cilok & Baso Ikan
-
-
Cilok & Baso Ikan



Keterangan :

-          Lotek (Bdg)         : Kol, kacang panjang, labu rebus, tauge (ada lotek mentah dan lotek matang yang semua sayurannya) + bumbu kacang (kadang pakai pecel) + nasi/lontong. Nasi/lontong disajikan terpisah, suyuran diaduk dan dicampur dengan bumbu kacang yang dibuat dadakan sehingga level pedas dapat diatur sesuai selera (agak kental), mirip nasi pecel karawang.

-          Pecel (Krw)         : Kol, kacang panjang, tauge (semua direbus) + bumbu kacang campur pecel (agak cair) + nasi + tempe mendoan. Semua sayuran disiram bumbu kacang yang sudah disiapkan (tidak diaduk dan dicampur), disajikan sisamping nasi yang diselimuti tempe mendoan, mirip lotek bandung.

-          Sate Ayam (Bdg&Krw)   : Potongan daging ayam, ditusuk pada batang bambu kecil, dibakar, ditambah bumbu kacang dan disajikan dengan nasi/lontong.

-          Kupat Tahu (Bdg) / Ketoprak (Krw)          : Lontong + tauge rebus + soun rebus + potongan goreng tahu + siraman bumbu kacang + kerupuk terpisah.

-          Cilok (BdgKrw)  : Singkatan dari “Aci dicolok” (tepung tapioka yang ditusuk). Tepung tapioka atau yang terbuat dari singkong / tepung kanji (jawa) / aci (sunda) yang dicampur air dan macam-macam bumbu, dibentuk bulat-bulat (ada yang menambahkan daging cincang didalamnya, adapula yang polos), direbus, disajikan dengan bumbu saus+kecap / bumbu kacang, dimakan dengan menggunakan tusukan bambu (dicolok). Biasanya memiliki warna lebih putih daripada baso ikan.

-          Baso Ikan (Bdg&Krw)     : Daging ikan yang dicampur tepung, air dan macam-macam bumbu, dibentuk bulat-bulat, lalu direbus. Disajikan dengan bumbu saus+kecap tanpa bumbu kacang, ada yang suka dimakan dengan kuah rebusannya ditambah bumbu penyedap, adapula yang hanya baso+saus kecapnya saja. Biasanya memiliki warna lebih gelap daripada cilok.


Peta Penjual Jajanan Alun-alun Karawang


Siapa tinggal di karawang? Di bandung? Di cimahi? Suka kuliner? Yuk wisata kuliner bareng! >,<

4 komentar:

  1. Ajeng klo di jakarta mau sate ayam ada yg enak dan bisa request satenya daging semua.. ada di dpn rumah sakit jmc.. langganan waktu ngekos di daerah buncit.. klo dari pasming mah deket ke buncit.. cobain geura, bukanya habis maghrib.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya teh?? sate ayam biasa? mau cobaaa.... boleh deh kapan-kapan ajak temen2 jakarta kesono hehe, depan RS.JMC yak, noted. hehe hatur nuhuun

      Hapus