"KULINER BANDUNG ft KULINER KARAWANG"
“RENUNGAN SINGKAT”
Coba buka pintu kamarmu, keluarlah dimalam hari, dan alihkan
pandanganmu kelangit diatas sana. Bisikan apa yang keluar dari mulutmu? Kalau
aku, “Ahh... Karawang...” sembari menarik nafas panjang dan melepaskannya dalam
satu hembusan, “HAH!”. Seteguk teh dalam botol menyadarkanku untuk kembali pada
kenyataan bahwa besok masih hari Minggu.
Minggu? Ada yang aneh pada kalimat diatas. “MASIH
HARI MINGGU”. Aku yakin semua orang menantikan hari minggu, setidaknya untuk
seorang karyawan sepertiku yang menghabiskan senin sampai jum’at ku di ruang
kantor sebuah pabrik di Karawang sini. Tapi dalam kalimat aneh itu seolah aku
ingin melewatkan mingguku dan ingin segera menemui senin untuk segera kembali
berhadapan dengan layar komputer kantor.
Bukan, maaf--belum, ini belum bisa disebut loyalitas, karena
faktanya aku ingin segera kembali kekantor bukan karna kecintaan berlebihku
pada pekerjaan, ini lebih karena tidak ada yang ingin aku lakukan dihari minggu
yang seperti ini di karawang sini.
Bukan aku membenci karawang, tidak—sama sekali tidak. Hanya saja bagaimanapun
kampung halaman selalu lebih menyenangkan. Benar?
Ada banyak yang tidak Karawang miliki dibanding dengan
Bandung dan Cimahiku. Teman nongkrong,
teman sharing, teman coffee trip, teman sekedar haha-hihi dan bernyanyi sampai dini hari
sekalipun, terlebih di karawang tidak ada rumah dan tidak ada Ibu yang
menyuguhkan sarapan pagi dan membangunkan subuhku untuk segera mengunjungi
Allahku yang tidak jarang aku lewatkan. Yaa,
meski sering kali aku lebih banyak menghabiskan waktuku di warung kopi
daripada dirumah, tapi itu bukan tanpa alasan dan bukan tanpa manfaat
(pembenaran, skip.).
Kembali tentang suguhan pagi Ibu, bukan hanya itu, suguhan
siang-sore-malam-pun adalah salah satu yang membuat Bandung dan Cimahi selalu
dirindukan. Bukan hanya suguhan makanan, tapi senyum canda tawa ibu dan adik
kecilku, terkadang kami juga melewatkan siang dengan cerita-cerita ringan
tentang gossip terbaru keluarga yang
selalu terlambat aku ketahui. Cerita lucu tingkah adikku yang Ibu, Abah, Nenek
dan keluargaku kisahkan, semua selalu membuatku menggelengkan kepala
mendengarnya. Dalam perbincangan kami, sering kali hanya ada aku, ibu dan
nenek. Dalam hati aku selalu tersenyum dalam kondisi seperti itu, betapa beruntungnya
aku masih bisa dikumpulkan bersama mereka, kami yang datang dari tiga generasi
yang berbeda, bisa bercanda dan tertawa karena hal yang sama. Mungkin lebih
indah jika saat itu ada empat generasi (eh
baper, skip.)
Apalah daya, minggu ini tidak ada mereka. Mungkin minggu
depan, aku janji akan selalu mengulangnya setiap kali pulang kerumah, meski
hanya beberapa menit, aku sebut itu “Quality
Time”, dan ngopi diwarkop adalah “Productive
Time”.
"KULINER TIME"
Bicara tentang Karawang, selain pabrik disini ada banyak
kuliner mengingat bekerja dan makan adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan
(ATARI MAE DESUYO! Setidaknya begitu
menurutku) . berbeda dengan Bandung yang kulinernya lebih banyak tentang
inovasi-inovasi dan resep-resep baru yang unik, di Karawang lebih banyak
makanan biasa yang asalnya dari berbagai tempat. Bubur ayam cirebon, sate
padang, siomay bandung, coto makasar, kupat tahu padalarang, pempek palembang, soto
surabaya, pecel tegal (mulai ngaco!).
Banyak! Banyak nama makanan yang di embel-embeli
dengan nama daerah dibelakangnya, meski tidak jarang sebenarnya itu hanya akal-akalan marketing agar menarik
pelanggan asal daerah-daerah tersebut, meski resep dan rasanya jelas berbeda,
bahkan pejualnya-pun bukan asli daerah-daerah tersebut. Anehnya, semua masakan itu
laris terjual! Yaa, perkara perut,
apapun itu asal perut terisi, hmmm.
Misalnya, bubur ayam cirebon yang kumakan hampir setiap
pagi, entah itu asli atau tidak karna aku sendiri belum pernah makan bubur ayam
di cirebon, belum pernah makan kupat tahu dipadalarang, dan rasanya di
padalarang sendiri tidak ada penjual kupat tahu yang bertuliskan “Kupat Tahu
Padalarang”, di bandung-pun jarang kulihat siomay dengan tulisan “Siomay
Bandung”. Ah ntahlah.
Namun demikian, tidak sedikit juga masakan yang memang asli
daerahnya, resep, rasa, bentuk dan penjualnya. Misalnya masakan jepang yang
sudah diulas sebelumnya. Hey! Karawang
tidak melulu tentang masakan jepang. Bagaimanapun disini ada jauh lebih banyak
warga lokal dengan kondisi ekonomi kelas menengah kebawah. Untuk itulah kubuat
ulasan ini untuk berbagi informasi dengan kalian semua.
Satu tahun belakangan ini saya tinggal di daerah alun-alun
karawang, dekat mesjid agung karawang ada banyak sekali penjual yang menjajakan
makanan, mulai dari cemilan sampai masakan berat. Sup, soto, baso, yamin, sate,
nasi goreng, ayam&bebek goreng, dan aahhh
banyaak sekali!! Ada beberapa yang saya favoritkan di alun-alun, sepertinya
yang ini asli dari daerahnya.
“BASO TAHU IKAN – SIOMAY BANDUNG PAD LOMA”
Kalian tau telkom karawang? Bangunan merah didaerah
alun-alun karawang sini. Seberang mesjid alun-alun karawang ada taman kecil yang disekitarya dikelilingi tenda-tenda
putih pejual makanan. Tidak jauh dari sebrang telkom situ, kalian bisa
berjalan kearah pertigaan dan berbelok ke kiri, dari pertigaan itu ada pos
polisi kecil, tepat disebrang pos polisi (masih di area tenda putih) ada
gerobak dengan tulisan “Baso Tahu Siomay Bandung”.
 |
| Baso Tahu Siomay Bandung, Rp.7.000/porsi |
Awalnya saya bosan dengan baso tahu di karawang, hampir
semua gerobak menuliskan “Siomay Bandung”, bentuknya kecil-kecil dan bumbu
kacangnya jauh berbeda dengan yang dijual di bandung, kebanyakan bumbu kacang
yang mereka punya berwarna coklat pucat, macam bumbu lotek kalau dibandung, dan
sambal yang mereka pakai adalah saus rasa murah yang rasanya aneh (redaksinya aneh, seharusnya ‘saus rasa aneh
yang harganya murah’, abaikan.).
 |
| Gerobak Baso Tahu Ikan, Alun-alun Karawang |
Biasanya sepulang kerja aku langsung pulang tanpa membeli
makan malam. Tapi malam itu karena terlalu lapar aku meminta supir jemputan
untuk menurunkanku dialun-alun, biarlah aku sedikit berjalan kaki pulang
kerumah. Tak sengaja aku melihat gerobak “Baso Tahu Ikan Siomay Pad Loma”. Melihat
tulisan “BASO TAHU” aku penasaran, karena biasanya mereka menuliskan “SIOMAY
BANDUNG”saja, dibandung cemilan kukus itu disebut ”Baso Tahu” bukan “Siomay”,
biasanya siomay itu semacam pangsit kering yang disajikan dengan kuah hangat.
Jadi kupikir itu pasti baso tahu yang seperti dijual dibandung sana. Dan
ternyata, benar! Ukuran siomay (pangsit kukus), tahu, kol, kentang, pare dan
telur itu berukuran besar dengan bumbu kacang berwarna coklat tua agak berminyak dengan bercak merah cabai
yang turut serta dihancurkan bersama kacang, bumbu kacang yang dihancurkan
sampai halus dengan kekentalan yang pas. EUREKA!!! Akhirnya ada juga baso tahu
yang benar-benar baso tahu di karawang! Harganya hanya Rp.7.000 /porsi, pakai
telur rebus Rp.10.000/porsi. Usut punya usut, rupanya Si Empunya gerobak memang
asli orang bandung, di karawang beliau memiliki beberapa gerobak serupa dengan
resep yang sama tentunya. Di alun-alun sini biasanya buka dari sore sampai
malam. Salah satunya lagi ada di depan pasar tuparev yang beroprasi siang hari
dan di depan RS.Bayukarta (RS.Bayukarta atau RS.Dewi Sri lupa, hehe).
“SATE PADANG UNAS PASAR MINGGU”
Dari banyak macam sate, rasanya aku selelalu lebih
menginginkan sate padang dibanding sate apapun, kenapa? Karena kebanyakan sate
ayam yang dijual saat ini lebih banyak menggunakan gaji ayamnya dibandingkan
dengan dagingnya sendiri, terlebih bumbu kacang yang sering kali rasanya biasa
saja.
Pertama kali mencoba sate padang saat aku mulai melanjutkan
study pasca sarjana ku di Universitas Nasional Jakarta, tepatnya di Jl.Sawo
Manila Pasang Minggu, Jakarta Selatan. Biasanya perkuliahan mulai pukul 17.00
sampai dengan pukul 21.00, sekitar pukul 18.30 waktunya kami istrahat shalat
maghrib dan makan malam kalau sempat. Didepan kampus UNAS Pasar Minggu, selepas maghrib biasanya
selain warteg, ada penjual nasi goreng, bubur ayam, dan sate padang. Jarang
memang kami makan malam pada jam istirahat, karena waktu istirahat singkat dan
hanya cukup untuk shalat maghrib, jadi kami memilih untuk shalat di mushala di
lantai 4. Selepas perkuliahan pukul 21.00 biasanya hanya tinggal penjual nasi
goreng dan bubur ayam yang tersisa. Sebelumnya tak tepikirkan untuk makan sate
padang karena memang selalu penuh dan antri, terlebih pukul sembilan malam
biasanya Si gerobak sate padang sudah raib dari pangkalannya.
Malam itu perkuliahan selesai lebih cepat, masih banyak
waktu untuk kami makan malam sambil berbincang ringan. Seorang teman memilih
untuk makan sate padang karena kebetulan sedang sepi karena sekitar pukul tujuh
malam biasanya mahasiswa sudah kembali kekelas dan berakhirlah kami dipangkalan
sate padang. Hmm, wanginya menarik, seperti
bumbu kari tapi berbeda, wanginya khas, penjualnya-pun asli orang Padang. Berbekal
rasa penasaran dan bosan dengan bubur ayam (kali
ini tanpa embel-embel nama daerah), akhirnya saya juga ikut memesan sate
padang seharga Rp.15.000 /porsi lengkap dengan lontongnya. Biasanya mendengan
nama daerah Padang pada makan saya tidak begitu tertarik karena yang saya tau
masakan padang kaya dengan rempah yang kuat dan kuah rempah yang sangat
berminyak, dan sayang sekali saya kurang suka masakan berminyak lebih. Setelah
dicoba, ternyata rasanya lumayan juga, kekentalan bumbunya kurasa cukup, ada
rasa pedas yang cukup, tidak tawar juga tidak terlalu pedas yang pasti tidak
berminyak, warnanya kuning kemerahan. Disitu baru aku tau kalau sate padang
tidak punya sambal meski padang dikenal dengan rempah, minyak dan rasa
pedasnya. Sate padang pertama UNAS-lah yang menjadi indikator untuk sate
padang-sate padang berikutnya.
“SATE PADANG LAPANGAN RAJAWALI, CIMAHI”
 |
| Sate Padang, Cimahi. Rp.18.000 |
 |
| Gerobak Sate Padang Urang Awak, Cimahi |
Berikutnya kurasa ingin sate padang lagi ketika pulang ke cimahi
sebelum kembali ke kota industri, saya merajuk di media sosial menanyakan
dimana keberadaan sate padang di cimahi? Ada yang membalas di bawah jembatan
dekat Alun-alun Cimahi, ada pula yang mengatakan disebrang Hotel Tjimahi, juga
ada yang menginformasikan di dekat Lapangan Rajawali. Berhubung arah pulangku
ke daerah Pasteur, aku hanya bisa mencari di Alun-alun dan sebang Hotel
Tjimahi, itupun harus melalui jalan yang sedikit memutar dari rumahku di daerah
Cipageran. Pasrahlah aku sore itu, pupus pula harapanku pada Si Sate Padang
idaman. Esok harinya aku memang sudah menjadwalkan perjalanan dinasku ke
Bandung untuk mengirimkan Laporan Upaya
Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL)
ke beberapa instansi pemerintahan di Bandung. Selesai dengan laporan-laporan
tersebut aku harus ke daerah Cimahi untuk memesan beberapa cutting sticker untuk kebutuhan kantor karena rupanya pembuatan cutting sticker dikarawang sangat mahal. Dari daerah Pasar
Atas Cimahi, kami kembali ke karawang menggunakan Tol Baros. Kupikir hasratku
pada sate padang kemarin sudah musnah rupanya keinginan itu masih kuat,
teringat komentar di Path dari
seorang teman, kabarnya ada penjual sate padang yang stay di dekat Lapangan Rajawali, tidak beripindah-pindah tempat
seperti penjual dengan gerobak lainnya. Kebetulan menuju Tol Baros harus
melalui Lapang Rajawali, kuminta pada supir untuk melaju pelan disekitar Lapang
Rajawali situ, rupanya benar! Lagi-lagi EUREKA!!! Lajur kiri sebelum Lapang
Rajawali, ada sebuah gerobak bertuliskan “SEDIA SATE PADANG URANG AWAK”.
Setelah berbincang dengan penuh kegirangan dengan Uda penjual sate, akhirnya
kupesan dua porsi sate padang lengkap dengan lontong seharga Rp.18.000 /porsi
itu. Kali ini rasanya sedikit berbeda, kalau sate padang di UNAS berwarna
kuning kemerahan, di cimahi berwarna kuning kecoklatan, rasa rempahnya lebih
kuat, potongan dagingnya lebih besar dan ada sedikit parutan kelapa dalam
balutan bumbu satenya. Kupikir mungkin ini ‘lebih padang’ (ntahlah, belum pernah juga kucoba sate padang asli dari padang).
Meski agak berbeda dengan sate padang
UNAS, rasa sedikit pedasnya masih bisa ditolelir dilidahku. Terlebih makan
siangku di Nany’s Pavilon siangnya
hanya “Spaghety Hot Tuna” yang kurasa
itu macam cemilan diperut gembilku (tunanya
sungguh hot rasanya, sangat pedas, dan
terlalu pedas bagi lidahku). Lain kali ketika aku benar-benar sedang ingin
sate padang di Cimahi, mungkin aku akan kembali lagi kesana.
“SATE PADANG KHAS PARIAMAN, ALUN-ALUN KARAWANG”
 |
| Sate Padang Alun-alun Karawang, Rp.15.000 |
Tak ada angin, tak ada hujan, tetiba malam itu sepulang
kerja aku seperti menggila ingin maka sate padang. Kutanya ibu-ibu yang lain,
infomasinya disekitar Mesjid Peruri ada yang menjual sate padang, akhirnya
kuminta supir jemputan untuk mengantar temanku melewati penjual sate itu,
perlahan kami menyusuri jalan mencari gerobak sate padang, tidak jauh dari
mesjid, dijalur kiri rupanya benar-benar ada gerobak bertuliskan “Sate Padang”,
sialnya mereka tidak berjualan, apalah artinya ada gerobak tanpa satenya.
Dengan lemah aku masih bisa sedikit berteriak menyesali tutupnya sate padang
tersebut, Pak Supir hanya bisa tertawa melihat tingkahku yang melebihi ibu
hamil yang sedang ngidam. Tak
menyerah sampai disitu, sepanjang jalan kuminta Pak Supir tetap berjalan pelan
sembari kami melihat-lihat barangkali masih ada kesempatan untuk memenuhi
hasratku pada si sate padang pujaan lidah. Entah iba atau apalah, Pak Supir
terbersit pada ingatannya bahwa pernah ada penjual sate padang dekat SDN
Karawang Kulon, kebetulan masih di daerah Alun-alun Karawang, akhirnya kami rasa
itulah harapan terakhir kami setelah melewati daerah Galuh Mas sampai Mall Karawang Central Plaza (KCP) belum
jua kami menemukannya. Tiba diarea Tenda Putih (begitu aku menyebut jajaran tenda putih yang mengelilingi taman di
depan mesjid agung karawang), kami melewati Kantor Pos, biasanya dari
Kantor Pos kami langsung berbelok ke kiri menuju rumahku, tapi karena kali itu
tujuan kami adalah sate padang dekat SDN Karawang Kulon, maka kami terus lurus
melewati tenda-tenda putih yang berjajar, dengan mata elangku kususuri setiap
tulisan pada gerobak-gerobak yang berjajar itu, biasanya tidak pernah
kuperhatikan mereka karena memang makan malam bukan hal rutin yang kulakukan. Pucuk dicinta ulam-pun tiba,
lagi-lagi-lagi EUREKA!!! Kutemukan gerobak bertuliskan “SATE PADANG KHAS
PARIAMAN”. Oh bahagiaaa..... belum
tiba ditujuan, sudah kutemukan apa yang diidam-idamkan. Seperti itulah rejeki,
kalau tidak dicari tidak mungkin menghampiri begitu saja. 3 tahun bekerja di
karawang, baru kali ini menemukan sate padang apalagi letaknya tidak jauh dari
tempat tinggalku.
Kalau di UNAS bumbunya kuning kemerahan, di Cimahi kuning
kecoklatan, di Karawang rupanya kuning keemasan. Potonga satenya tidak jauh
berbeda dengan sate padang UNAS, lebih kecil dari sate padang di Cimahi,
kekentalan bumbunya cukup, pedasnya juga pas, sesuai ekspektasi, yes! Bedanya bumbu kali ini dibubuhi
kacang tanah (kalau dibandung dikenal
dengan sebutan “su-uk” ). Agak aneh memang dilidah, tapi kalau “su-uk” nya tidak kumakan, tidak ada
masalah, rasanya eemmhhhh nikmat!
Kenikmatan itu seharga Rp.15.000 /porsi. Setelah wara-wiri mencari, akhirnya kupesan 3 porsi sekaligus, 1 porsi
untuk Pak Supir yang turut serta berkontibusi dan sabar menemaniku, 2 porsi
untukku yang gembil ini. Tidak!
Keduanya tentu tidak untuk kumakan sekaligus malam itu. 1 porsi terakhir
sengaja kusimpan untuk sarapan esok paginya. Pukul 6 pagi esoknya, sengaja kuhangatkan sate
padang semalam, kukemas baik-baik dan kusimpan rapi disamping tas kerjakku agar
tidak tertinggal. Sungguh cerobohnya aku, bergegas aku menuju mobil jemputan
yang sudah menunggu, dan diperjalan baru kuingat sate padang idamanku
tertinggal dirumah :’( tertawalah Pak Supir melihat kelakuan konyolku. Akhirnya
kukirim pesan singkat pada adikku yang saat itu bekerja shift malam dan pulang
pagi harinya untuk menghabiskan saja sate padangku. Begitulah, ada pesan moral
yang kalian dapat? Teliti! Ya, jangan ceroboh! Bangunlah lebih pagi
dan persiapkan baik-baik kebutuhan kalian sebelum berkegiatan!
For your information, malam
ini gantian adikku yang membelikan aku sate padang tadi. Rasanya masih menempel
sampai selarut ini, nikmat. (too much,
lebay!).
“MIE BASO YAMIN, ALUN-ALUN KARAWANG”
Siapa tak suka baso? Daging giling dicampur tepung dan
macam-macam bumbu yang dibentuk biasanya bulat-bulan dan direbus, ada yang
menambahkan urat, atau didalamnya diberi daging cincang, telur rebus, bahkan
kini banyak inovasinya seperti berisikan keju, sosis, bahkan cabai. Bentuknya
juga sudah tidak selalu bulat, ada yang membuatnya menjadi pipih, kotak bahkan
bentuk hati. Disajikan dengan mie dan sayuran, ditabah sambal, saus, kecap dan
cuka. Uuhhh segar tentunya. Ada mie baso bisa, ada pula mie baso yamin, yamin-pun
ada yamin kuah, yamin kering, yamin asin, yamin manis, wow! Tapi sungguh, di karawang sini sangat jarang baso yang
benar-benar cocok dilidah saya, entah mungkin lagi-lagi atmosfer karawang yang jauh berbeda dengan bandung atau memang
resep dan cara memasak juga cara penyajian yang berbeda.
 |
Mie Baso Yamin Alun-alun Karawang.Rp.15.000+Rp.10.000
|
Ada dua depot baso besar yang terkenal di karawang, “Baso
Sopo Nyono” (baso siapa sangka), tapi
tetap rasa baso yaminnya berbeda dengan yang biasa saya makan di bandung,
letaknya di daerah Perumnas Karawang dan di Galuh Mas sebelum masuk ke Cluster
Primrose. Ada juga baso dengan label “Baso Rudal” di daerah Peruri, lagi-lagi
berbeda dengan baso rudal bandung yang ukurannya besar dengan urat yang renyah
pula.
Dan lagi dengan tidak sengaja kutemukan baso yamin di area tenda putih di alun-alun sini, letaknya
hanya terpisah 2-3 gerobak dari tempat sate padang tadi. Mie Baso Yamin seharga
Rp.15.000 /porsi ini memiliki mie dengan tekstur lembut berwarna kuning pucat,
ukuran yang kecil, agak keriting
tidak sekeriting indomie tidak pula selurus mie pada mie kocok. Mie yamin ini
disajikan dengan daging ayam cincang, daun bawang, dan bawang goreng diatasnya
(sayangnya aku benar-benar benci
bawang-bawangan, jadi tidak kutambahkan mereka pada mie yamin yang kupesan).
Kuahnya terpisah, baso kecil-kecil yang adonannya kira-kira 65% daging dan 35%
tepung+bumbu ini passss sekali
dilidahku. Belum ada yamin seenak ini dikarawang, hanya satu kekurangannya,
kurang senyumnya :)
Berhubung kurasa sangat lapar malam itu, dan aku sangat
mengidamkan baso besar juga, akhirnya aku berjalan dari penjual yamin tadi kearah
mesjid agung, tepat disebrang mesjid agung, kupesan juga baso biasa seharga
Rp.10.000 /porsi. Hmm kira-kira 40%
daging dan 60% tepung+bumbu, sebenarnya itu pertama kalinya kupesan baso
disana, untuk lidahku kurang pas, entah untuk lidah kalian, boleh kalian coba
jika kebetulan lewat. Ternyata itu hanya nafsu makanku saja yang berlebih,
setelah masuk keperut justru semuanya tidak bisa kuhabiskan karna kekenyangan.
Mungkin kalian bisa coba makan mie baso yaminnya saja atau mie basonya saja.
Ingat, makanlah sebelum lapar dan berhentilah sebelum
kenyang!
“KULINER BANDUNG VS KULINER KARAWANG”
Bandung
|
Karawang
|
Pagi-Siang
|
Sore-Malam
|
Pagi-Siang
|
Sore-Malam
|
-
|
Lotek + Nasi / Lontong
|
Nasi Pecel + Tempe Mendoan
|
-
|
-
|
Sate Ayam
|
Sate Ayam
|
Sate Ayam
|
Kupat Tahu
|
-
|
-
|
Ketoprak
|
Cilok & Baso Ikan
|
-
|
-
|
Cilok & Baso Ikan
|
Keterangan :
-
Lotek (Bdg) :
Kol, kacang panjang, labu rebus, tauge (ada lotek mentah dan lotek matang yang
semua sayurannya) + bumbu kacang (kadang pakai pecel) + nasi/lontong. Nasi/lontong
disajikan terpisah, suyuran diaduk dan dicampur dengan bumbu kacang yang dibuat
dadakan sehingga level pedas dapat diatur sesuai selera (agak kental), mirip nasi pecel karawang.
-
Pecel (Krw) :
Kol, kacang panjang, tauge (semua direbus) + bumbu kacang campur pecel (agak cair) + nasi + tempe mendoan. Semua
sayuran disiram bumbu kacang yang sudah disiapkan (tidak diaduk dan dicampur),
disajikan sisamping nasi yang diselimuti tempe mendoan, mirip lotek bandung.
-
Sate Ayam (Bdg&Krw) : Potongan daging ayam, ditusuk pada batang bambu kecil, dibakar,
ditambah bumbu kacang dan disajikan dengan nasi/lontong.
-
Kupat Tahu (Bdg) / Ketoprak (Krw) : Lontong + tauge rebus + soun rebus +
potongan goreng tahu + siraman bumbu kacang + kerupuk terpisah.
-
Cilok (BdgKrw) :
Singkatan dari “Aci dicolok” (tepung tapioka yang ditusuk). Tepung tapioka atau
yang terbuat dari singkong / tepung kanji (jawa) / aci (sunda) yang dicampur
air dan macam-macam bumbu, dibentuk bulat-bulat (ada yang menambahkan daging
cincang didalamnya, adapula yang polos), direbus, disajikan dengan bumbu
saus+kecap / bumbu kacang, dimakan dengan menggunakan tusukan bambu (dicolok). Biasanya memiliki warna lebih
putih daripada baso ikan.
-
Baso Ikan (Bdg&Krw) : Daging ikan yang dicampur tepung, air dan macam-macam bumbu,
dibentuk bulat-bulat, lalu direbus. Disajikan dengan bumbu saus+kecap tanpa
bumbu kacang, ada yang suka dimakan dengan kuah rebusannya ditambah bumbu
penyedap, adapula yang hanya baso+saus kecapnya saja. Biasanya memiliki warna
lebih gelap daripada cilok.
 |
| Peta Penjual Jajanan Alun-alun Karawang |
Siapa tinggal di karawang? Di bandung? Di cimahi? Suka
kuliner? Yuk wisata kuliner bareng!
>,<